Jumat, 06 Juni 2014

Yel yel “KATA BUSUK” Menjelang Pemilu 2014


Jangan pilih Poltisi busuk, Partai Politik busuk, Pejabat busuk, Aktivis busuk, dan dengan sederetan predikat “busuk” lainnya yang menjadi yel-yel menjelang pemilu khususnya pada pesta demokrasi tahun 2014 tahun ini. Adanya suatu perubahan yang krusial dalam system pemilu tahun ini dan perubahan prilaku serta strategi politik tahun 2014 membuat pemilu kali ini menjadi lain dari pemilu sebelumnya. Pemilu kali ini bukan hanya memilih para wakil rakyat saja akan tetapi sekaligus memilih calon presiden dan calon wakil presiden.

Tidak heran pemilu 2014 kali ini banyak ditenggarai munculnya yel-yel dengan “kata busuk” sebagaimana disebutkan pada permulaan tulisan ini. Yel-yel tersebut haruslah dipandang sebagai suatu dinamika tersendiri yang merupakan anti-thesa dari kenyataan yang ada yang muncul dalam suatu bentuk gerakan moral masyarakat yang telah muak dan jenuh sekaligus menentang terhadap system politik, budaya prilaku politik dan prilaku hukum para elite politik yang ada selama ini baik itu yang ada di dalam inprastruktur maupun di dalam suprastruktur system pemerintahan Indonesia yang menganut system trias-politika model devition of power (pembagian kekeuasaan) yang dinilai oleh kalangan reformis system dan prilaku tersebut telah “busuk” sehingga secara politis haruslah dibuang untuk tidak dipakai lagi. Fenomena yang disebut dan dinilai “busuk” tersebut agaknya telah menjadi budaya sikap dan “prilaku para politisi” yang dinilai telah begitu bias dan/atau menyimpang dari nilai-nilai Pancasila yang seharusnya menjadi acuan apalagi Pancasila merupakan nilai-nilai budaya adiluhung bangsa ini.

Pancasila yang telah ditetapkan sebagai Ideologi negara republik Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia sekaligus juga sebagai sumber dari segala tertib hukum Indonesia pada kenyataannya nilai yang terkandung dalam Pancasila ini tidak teraktualisasi untuk dijadikan sebagai parameter sentral guna mengkoreksi bias prilaku kebangsaan masyarakat kita dewasa ini. Bahkan sadar atau tidak sadar posisinya telah berganti dengan nilai-nilai yang bersifat primordialisme sempit dimana masyarakat cenderung mengambil parameter kebangsaan dari nilai-nilai kesukuan, keagamaan, rasial dan antar golongan. Celakanya lagi logika hukum positip gagal untuk menjelaskan fenomena sekarang ini, dimana orang-orang telah kehilangan rasa bersalah, rasa malu dan rasa takut untuk melakukan prilaku yang tidak benar. Dan dalam konteks ini pula nilai-nilai demokrasi dalam system pemerintahan negara kita telah diartikan secara beragam dan sempit sehingga prilaku masyarakat yang mengarah pada standard pemahaman demokrasi baik secara definisi konsep maupun secara definisi operasi tidak ditemukan di negara ini.

Seperti kita ketahui secara definisi konsep pengertian demokrasi dapat dirumuskan sebagai suatu proses penyelenggaraan kekuasaan negara yang dilakukan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, sedang secara definisi operasi pengertian demokrasi lebih diartikan pada bagaimana dapat bekerjanya elemen-elemen demokrasi dengan baik dalam bentuk berjalannya partisipasi politik masyarakat, berfungsinya perananan DPR, MPR serta berjalannya PEMILU dengan baik. Sebuah negara dapat dikatakan demokratis jika di sana dapat dilihat adanya penghormatan prilaku masyarakat terhadap hukum, kemampuan mengendalikan sikap terhadap terjadinya perbedaan pendapat di dalam rapat permusyawaratan serta dapat menerima perbedaan dalam semua dimensi yang ada sekaligus merupakan bagian yang diperlukan bagi dinamika hidup yang harus dipertahankan dalam paham kebangsaan yang pluralis serta adanya penghormatan prilaku masyarakat dalam proses system pemerintahan saat pemilu itu diselenggarakan.

Berkaitan dengan yel-yel jangan pilih yang busuk-busuk dalam pemilu 2014, keberadaan yel-yel ini jangan disikapi secara emosional namun haruslah dipandang dan disikapi secara dewasa sebagai dinamika perkembangan perpolitikan demokrasi Indonesia. Dan di samping itu yel-yel “busuk” tersebut dapat pula dijadikan masukan dan koreksi bagi diri kita masing-masing yang diharapkan dapat melahirkan nuasa baru bagi perbaikan kehidupan kita sebagai suatu bangsa. Adanya yel-yel “busuk” tidak harus membuat kita terburu-buru menggunakan parameter hukum untuk memberantas gerakan moral semacam ini. Sebaliknya bagi gerakan moral yang menggunakan yel-yel “busuk” sebagai salah satu gerakan moral dalam memainkan strategi politiknya untuk memenangkan partai-partai tertentu dalam pemilu 2014.

Pengguna yel-yel “busuk” tersebut jangan terburu-buru untuk menentukan dan mengumumkan siapa-siapa saja yang dikualifikasikan sebagai politisi busuk agar tidak menjadi bomerang di kemudian hari sehingga menjadi kontra produktif dari tujuannya. Dalam kontek “busuk” ini sebaiknya cukup ditujukan kepada para politisi atau pejabat busuk saja. Yel-yel tersebut jangan digeneralisir sehingga merembes kepada pemberian stigmatisasi terhadap partai-partai politik tertentu yang tidak disenangi atau LSM-LSM tertentu yang tidak disenangi, dengan sebutan atau yel-yel Partai Politik busuk, LSM busuk. Karena harus disadari bahwa yang namanya partai atau LSM hanyalah merupakan wadah belaka yang bersifat institusional, wadah itu bisa diisi oleh siapa saja, termasuk anda sebagai politisi harum atau mereka sebagai politisi busuk.

Kontroversi Terdakwa Jadi Capres


Rapat paripurna DPR RI di Gedung DPR pada hari Senin, 7 Juli 2014 akhirnya mengesahkan RUU Pemilihan Presiden menjadi Undang-Undang Pemilihan Presiden. Bangyak yang menilai UU tersebut lahir karena hasil bargaining politik antara beberapa kepentingan elite Partai besar yang masing-masing mempunyai cacat dalam syarat-syarat yang diajukan dalam RUU Pemilihan Presiden sebelumnya.

Mensikapi lolosnya RUU tersebut menjadi UU telah ternyata dijadikan momentum pula oleh beberapa para elite politik dengan mendramatisir lolosnya RUU dengan sikap yang bisa dikatakan setengah mengkampanyekan wawasan pribadinya sembari mengatakan ; “masalahnya kembalikan saja ke rakyat, karena rakyat sudah cukup cerdas dalam memilih Presiden secara langsung, sebagai contoh dalam Pilkades-Pilkades yang dilakukan selama ini”. Mungkin komentar tersebut ada benarnya. Rakyat sudah punya pengalaman di dalam Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) di Desanya. Dan rakyat sudah punya pengalaman dalam melihat tingkah polah calon Kepala Desa saat sebelum dilakukannya Pilkades, antara lain :

1). Rakyat didatangi seseorang (jurkam) dari salah satu kontestan yang memintanya agar mencoblos gambar anu dengan memberi imbalan uang dan rasa terima kasih ; 2). Kemudian rakyat didatangi lagi oleh seseorang lainnya dari kontestan lainnya, juga meminta agar ia mau mecoblos gambar anu dengan memberi imbalan uang yang lebih besar lagi ; 3). Rakyat sudah cukup pengalaman dalam bersikap pragmatis ditengah beban sulit yang mereka hadapi, mana yang harus didahulukan antara bagaimana mempertahankan hidup atau menegakkan nilai-nilai peradaban.;

Bahkan kalau dilihat perkembangannya pengalaman dari Pilkades selama ini rakyat mungkin tidak ambil pusing tentang siapa yang akan memimpin negara ini, karena yang penting bagi rakyat calon pemimpin tersebut bisa memakmurkan. Berbicara mengenai Terdakwa itu adalah nomenklatur hukum yang harus dinilai secara tersendiri dari kaca-mata hukum. Rakyat belum merasa mendesak untuk menilai serta mengambil kesimpulan atau menentukan sikap terhadapnya. Sepanjang sejarah yang ada konon rakyat masih juga memberikan rasa hormat kepada si Pitung Jago Betawi yang juga disebut sebagai “Maling Budiman”, atau sebagai Rhobin Hoot nya Indonesia, dimana tindakannya dapat dibenarkan oleh rakyat yaitu merampok harta Kompeni atau Saudagar-saudagar kaya yang curang dan berkhianat, karena hasil rampokannya selalu dibagi-bagikan kepada rakyat miskin yang menderita. Berbicara mengenai “terdakwa” sebenarnya kita semua punya potensi menjadi “Terdakwa” karena kometmen moral kita sudah sangat diragukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mungkin saja banyak diantara kita menyimpan kesalahan yang dapat dikategorikan suatu perbuatan melanggar hukum bahkan melakukan pidana, cuma mungkin belum ketahuan dan dipersoalkan orang, kita masih selamat. Kata-kata tentang Terdakwa” sebaiknya jangan dijadikan alat untuk melakukan pembunuhan karakter (Caracter Assasination) atau kata terdakwa jangan pula disosialisasikan menjadi alergi sosial yang harus disikapi dengan sinisme. Bukankah di Afrika Selatan Nelson Mandela yang mantan narapidana bisa jadi Presiden Afrika Selatan walaupun saat ini sudah mantan Presiden, Mandela tetap dimuliakan oleh sebagian besar Rakyat Afrika Selatan. Di negara kita kalau kita sportif menjunjung tinggi supremasi hukum kedudukan Terdakwa yang disandang seseorang belum dapat dikatakan ia telah bersalah sehingga tanpa disadari kita telah mengambil sikap menghukum terhadap diri terdakwa.

Asas Presumtion of innocence ( Praduga tak bersalah) sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 8 UU No.14/1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu : “setiap orang yang disangka,ditangkap,ditahan,dituntut dan/atau dihadapkan di depan pengadilan, wajiab dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap”. Dan ditegaskan pula di dalam pasal 18 ayat (1) UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Mamusia (HAM) yaitu : “setiap orang yang ditangkap,ditahan,dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Atas dasar ketentuan ini rakyat harus diajari untuk bersikap dewasa tidak memvonis seorang “terdakwa” apalagi disuruh menentukan sikap yang bersifat menghukum terhadap “terdakwa” dengan mematikan hak-hak terdakwa yang masih ada.

Para politikus/elite politik seharusnya mengerti hukum, menimal mengerti tentang hak-hak terdakwa dan tidak menjadikan seorang “terdakwa” menjadi komoditas politiknya, jangan mencari populeritas di atas kehancuran orang lain (lawan politiknya). Berangkat dari asas hukum tentang Praduga Tidak Bersalah, serta berdasarkan pasal 8 UU No.14/1970 dan pasal 18 ayat (1) UU No.39/1999, maka dapat dibenarkan secara hukum seorang “terdakwa” menjadi Calon Presiden, Calon apa saja di dalam struktur pemerintahan atau calon ketua di Lembaga-Lembaga Tinggi Negara lainnya di Republik ini. Kalau negara ini konsisten menjunjung tinggi supremasi hukum, maka harus ditegakkan hak-hak hukum seseorang secara utuh dan menyeluruh.

Tanggungjawab Penegakan Hukum


Penegakan hukum yang akuntabel dapat diartikan sebagai suatu upaya pelaksanaan penegakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, bangsa dan negara yang menyangkut adanya kepastian hukum dalam sistem hukum yang berlaku, kemanfaatan hukum dan keadilan bagi masyarakat. Proses penegakan hukum tidak dapat dipisahkan dengan sistem hukum itu sendiri. Sedang sistem hukum dapat diartikan merupakan bagian-bagian proses yang saling bergantung yang harus ditegakkan serta dipatuhi oleh Penegak Hukum dan juga oleh masyarakat demi ditegakkannya kepastian hukum. Sebagai contoh, jika seseorang ditangkap, barang yang ada dalam kekuasaannya disita karena diduga ada hubungannya dengan kejahatan, namun proses hukumnya tidak berjalan bahkan tidak pernah tuntas, terjadinya pelanggaran KUHAP dan HAM dalam proses hukum adalah merupakan salah satu bukti tidak adanya tanggungjawab penegakan hukum di negeri ini.

Untuk itu diperlukan langkah-langkah untuk membangun penegakan hukum (Law enforcement) yang akuntabel antara lain :1). Perlunya penyempurnaan atau memperbaharui serta melengkapi perangkat hukum dan perundang-undangan yang ada ; 2) Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Penegak Hukum baik dari segi moralitas dan intelektualitasnya, karena tidak sedikit Penegak Hukum yang ada saat ini tidak paham betul idealisme hukum yang sedang ditegakkannya ; 3). Dibentuknya suatu lembaga yang independen oleh Pemerintah dimana para anggotanya terdiri dari unsur-unsur masyarakat luas yang cerdas (non Hakim aktif, Jaksa aktif dan Polisi aktif) yang bertujuan mengawasi proses penegakan hukum ( law enforcement’ ) dimana lembaga ini berwenang merekomendasikan agar diberikannya sanksi bagi para penegak hukum yang melanggar proses penegakan hukum yang telah ditentukan. ( vide : pasal 9 ayat (1) dan (2) UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, pasal 17 Jo psl. 3 ayat [(2) dan (3)] Jo. Psl.18 ayat [(1) dan (4)] UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) ;

4) Perlu dilakukannya standarisasi dan pemberian tambahan kesejahteraan yang memadai khususnya bagi Penegak Hukum yang digaji yaitu : Hakim, Jaksa dan Polisi kecuali Advokat agar profesionalisme mereka sebagai bagian terbesar dari penegak hukum di Indonesia diharapkan lebih fokus dalam menegakkan hukum sesuai dari tujuan hukum itu sendiri ; 5) Dilakukannya sosialisasi hukum dan perundang-undangan secara intensif kepada masyarakat luas sebagai konsekuensi asas hukum yang mengatakan bahwa ; “ setiap masyarakat dianggap tahu hukum ”. Disini peran media cetak (Pers) dan media electronic”s (TV-Radio), serta kelompok-kelompok Lembaga swadaya Masyarakat (LSM) sangat diperlukan, karena mereka banyak mengetahui dan concern dalam melakukan penyebaran informasi, serta melakukan “advokasi” kepada masyarakat, pemerintah dan pihak-pihak yang terkait agar terbangunnya prilaku dan kebudayaan hukum di negeri ini ;.dan 6) Perlu adanya good will yang melahirkan tekad (komitmen) bersama dari para penegakan hukum (‘law enforcement’) yang konsisten. Komitmen ini diharapkan dapat lahir terutama dimulai dan diprakarsai oleh unsur penegak hukum yaitu “catur wangsa”, terdiri dari : Hakim, Advokat, Jaksa dan Polisi, yang dari adanya komitmen ini diharapkan dapat pula diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat, sehingga pada gilirannya akan lahir pula kebudayaan hukum di negeri ini;

Namun usul langkah-langkah di atas untuk membangun sistem penegakan hukum yang akuntabel tentu tidak dapat berjalan mulus tanpa ada dukungan penuh dari Pemerintahan yang bersih (‘clean government’), karena penegakan hukum (‘law enforcement’) adalah bagian dari sistem hukum pemerintahan. Bahwa pemerintahan negara ( ‘lapuissance de executrice’) harus menjamin kemandirian institusi penegak hukum yang dibawahinya dalam hal ini institusi “Kejaksaan” dan “Kepolisian” karena sesungguhnya terjaminnya institusi penegakan hukum merupakan platform dari politik hukum pemerintah yang berupaya mengkondisi tata-prilaku masyarakat indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara agar tata-prilaku masyarakat tersebut mendukung tercapainya cita-cita bangsa Indonesia yang tedapat dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945, yang ntinya adalah : 1.Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia ; 2. Memajukan kesejahteraan umum ; 3. Mencerdaskan kehidupan bangsa ; dan 4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ;

Penegakan hukum yang akuntabel merupakan dasar dan bukti bahwa Indonesia benar-benar sebagai Negara Hukum ( ‘rechtsstaat’ ). Rakyat harus diberitahu kriteria/ukuran yang dijadikan dasar untuk menilai suatu pertanggungjawaban penegakan hukum yang akuntabel. Oleh karena itu dalam membangun sistem penegakan hukum yang akuntabel perlu ada upaya sistematis dan terorganisir dalam mensosialisasi hukum secara berkelanjutan kepada masyarakat agar penegakan hukum yang akuntabel dapat diwujudkan oleh penegak hukum bersama-sama dengan seluruh komponen yang ada di masyarakat.

Diduga Korupsi Rp 49 M, Walhi akan Laporkan Perhutani ke KPK

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jabar geram terhadap Perum Perhutani dan 12 perusahaan yang diduga melakukan tindak pidana lantaran melakukan praktik penambangan galena secara ilegal yang dilakukan di kawasan hutan lindung KPH Bogor, Kabupaten Bogor, Jabar. Walhi pun mengendus tindak pidana korupsi yang merugikan negara terkait aktivitas tersebut.

Direktur Eksekutif Walhi Jabar Dadan Ramdan mengatakan kerjasama operasional (KSO) antara Perum Perhutani dan 12 perusahaan yang dilegitimasi oleh surat perjanjian reklmasi dan rehabilitasi hutan di KPH Bogor adalah bohon belaka. Pihak Perhutani menyatakan perjanjian kerjasama dengan seluruh perusahaan itu dilakukan lima tahun atau 2007-2012. Satu perusahaan itu mengelola 9 hingga 10 hektare.

"Selama lima tahun itu diduga ada indikasi kerugian negara senilai Rp 49 miliar yang masuk kantong pribadi. Itu antara lain biaya kontribusi, dan reklamasi, rehabilitasi, dan uang garansi. Seharusnya penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan di luar kehutanan itu melalui prosedur pinjam pakai kawasan. Pemegan izin memenuhi kewajiban administrasi berupa PSDH dan PNBP yang harusnya masuk ke kas negara," ucap Dadan di Sekretariat Walhi Jabar, Jalan Piit No.5, Kota Bandung, Senin (21/1/2013).

Hasil investigasi Walhi Jabar, sambung Dadan, kasus KSO pertambangan galena di KPH Bogor ialah praktik pertambangan yang menyalahi aturan kehutanan sebagaimana termuat dalam UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan. "Penambangan galena ini merusak sekitar 99 hektare kawasan hutan dan ekosistem di dalamnya," ucap Dadan.

Walhi Jabar pun berencana melaporkan kerugian negara ini kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). "Kami akan melaporkan Perum Perhutani kepada KPK untuk penyelidikan dan penyidikan atas dugaan tindak korupsi yang merugikan negara," papar Dadan. Kasus ini pun sudah dilaporkan ke Kapolda Jabar.

Legitasi WALHI Jabar Herian Rico Silitonga menyatakan Perum Perhutani dan 12 perusahaan tersebut melanggar Pasal 50 ayat 3 dan Pasal 38 ayat 4 junto Pasal 78 ayat 6 UU No.41 tahun 1999 tentang kehutanan. "Siang ini kami melaporkan Perhutani dan 12 perusahaan kepada Polda Jabar.

Rico menilai Perum Perhutani dan perusahaan itu diduga melakukan kegiatan kehutanan yakni penmabangan, eksplorasi, dan eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri Kehutanan. "Ancaman pidananya 10 tahun penjara, atau denda lima miliar rupiah,"

KORUPSI : Perhutani Sanggah Tunggakan Rp 17 Miliar

Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten menyanggah telah menunggak pendapatan negara bukan pajak (PNBP) senilai Rp 17 miliar seperti yang disampaikan LSM Gerakan Anti Korupsi. Pendapatan dari tiga kawasan wisata yang dikelola itu hanya Rp 1,6 miliar dan menunggu payung hukum penyetorannya.
“Uangnya ada. Tidak ada yang menikmati uang itu sepeser pun. Kami sebenarnya siap menyetorkannya. Masalahnya, tidak ada aturan yang menyebutkan uang itu disetorkan kepada siapa, berapa jumlahnya, dan bagaimana caranya,” kata Agus Purwanto, Corporate Secretary and Legal Head Perum Perhutani Unit III Jabar dan Banten, Selasa (8/6) di kantornya.
Agus menuturkan, Perhutani Unit III mendapatkan wewenang untuk mengelola tiga taman wisata alam, yaitu Gunung Tangkubanparahu serta pemandian air panas Cimanggu dan Carita berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor 284 Tahun 1990. Dalam perjalanannya, jumlah pendapatan yang harus disetorkan ke negara berubah-ubah.
Agus mencontohkan, pada 1998, melalui SK Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan, pengelola kawasan wisata wajib menyetorkan 10 persen dari pendapatan. “Namun, surat itu tidak menyertakan petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan penyetorannya. Kemudian, ada klausul bahwa Perhutani diminta tidak membayarkan PNBP itu sebelum ada petunjuk teknisnya,” ujarnya.
Tangkubanparahu
Pada 2006, lanjut Agus, keluarlah petunjuk teknis tersebut. Namun, hingga kemarin belum ada surat tagihan yang datang ke Perhutani Unit III. Kemudian, pada 2007 pengelolaan Tangkubanparahu jatuh ke pihak swasta.
Setahun berikutnya, Ditjen PHKA menggelar rapat untuk menentukan jumlah PNBP yang harus disetorkan. Dari rapat itu, kata Agus, Perhutani Unit III diharuskan membayar Rp 1,6 miliar. Jumlah itu sudah dikurangi Rp 7 miliar untuk disetor ke Pemerintah Kabupaten Bandung dan Kabupaten Subang sebagai retribusi sejak 1990.
“Uang Rp 1,6 miliar itu memang belum terbayar karena tidak ada tagihan kepada kami. Andai saja besok ada tagihan, kami pasti langsung melunasinya,” kata Kepala Humas dan Kesekretariatan Perum Perhutani Unit III Jabar dan Banten Ronald G Suitela.
Senin lalu LSM Gerakan Anti Korupsi menuding Perum Perhutani Unit III Jabar dan Banten tidak menyetorkan PNBP senilai Rp 17 miliar. Tertulis dalam pemberitaan di sejumlah media massa, angka itu didapat dari pungutan usaha pariwisata alam Rp 94,5 juta, iuran pungutan pariwisata alam Rp 941.357.321, dan tiket masuk Tangkubanparahu Rp 16.459.722.000. (HEI)

Polisi Usut Kasus Korupsi Perhutani

Polrestabes Surabaya sedang membidik dua kasus dugaan korupsi di Perhutani dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya dan saat ini sedang dalam tahap pengumpulan data dan penyelidikan.
"Dua kasus ini masih dalam proses penyelidikan, kami masih kumpulkan bukti-bukti dan meminta keterangan saksi," kata Kasat Reskrim Polrestabes Surabaya AKBP Farman, Senin ( 30/12/2013).
Untuk dugaan korupsi di Perhutani, terkait pengadaan alat pengukur kayu yang diduga merugikan negara Rp 16.675.000 dan telah menetapkan tersangka IS (Kepala Unit Perhutani).
Sedang di Kejari, menurut Farman, dugaan korupsi penggelapan barang bukti Tahun 2011 yang dilakukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Bayu di Kejaksaan Negeri Surabaya sebesar Rp 829.500.000 dari total Rp 3 miliar yang hilang bersama mobil jasa pengantar uang milik PT Certis Cisco yang dirampok di halaman Royal Plaza Surabaya, Juli 2011.
Meski Bayu telah dipecat secara tidak hormat tahun lalu, namun itu tidak mengurangi proses hukum yang dilakukan polisi. "Kami masih melakukan lidik terkait kasus ini," kata Farman.
Apalagi dalam kasus ini proses penyerahan dan pemberkasan barang bukti tidak hanya dilakukan satu jaksa. Diduga beberapa jaksa mengetahui hilangnya barang bukti tersebut.
Selama 2013, lima kasus korupsi ditangani Polrestabes Surabaya, tiga diantaranya berhasil diungkap, yakni kasus kredit fiktif di BRI Cabang Wonocolo dengan tersangka HS yang merugikan negara Rp 441 juta.
Kasus kedua di PD Pasar Surya dengan tersangka So dan HS dan ketiga kasus di Bapeko Surabaya, penggelapan PPH sebesar Rp 999.473.919 dengan tersangka, UJ, MN, AA dan SO.

Etika dan Moral Politik vs Penegakan Hukum


Dalam praktiknya antara Politik dan Hukum memang sulit dipisahkan, karena setiap suatu rezim yang sedang berkuasa disetiap negara punya “politik hukum” sendiri dalam melaksana konsep tujuan pemerintahannya khususnya yang berhubungan dengan pembangunan dan kebijakan-kebijakan politiknya baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Maka jangan heran jika di negeri ini begitu terjadi pergantian Pemerintahan yang diikuti adanya pergantian para Menteri maka aturan dan kebijakan yang dijalankannya juga ikut berganti, dan setiap kebijakan politik harus memerlukan dukungan berupa payung hukum yang merupakan politik hukum dari kekuasaan rezim yang sedang berkuasa agar rezim tersebut memiliki landasan yang sah dari konsep dan strategi politik pembangunan yang dijalankannya. Strategi politik dalam memperjuangkan politik hukum tersebut harus dijalankan dengan mengindahkan etika dan moral politik.

Adapun “Etika Politik” harus dipahami dalam konteks “etika dan moral secara umum”. Bicara tentang “etika dan moral” setidaknya terdiri dari tiga hal, yaitu: pertama, etika dan moral Individual yang lebih menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri. Salah satu prinsip yang secara khusus relevan dalam etika individual ini adalah prinsip integrasi pribadi, yang berbicara mengenai perilaku individual tertentu dalam rangka menjaga dan mempertahankan nama baiknya sebagai pribadi yang bermoral. Kedua, etika moral sosial yang mengacu pada kewajiban dan hak, sikap dan pola perilaku manusia sebagai makhluk sosial dalam interaksinya dengan sesamanya. Tentu saja sebagaimana hakikat manusia yang bersifat ganda, yaitu sebagai makhluk individual dan sosial. Ketiga, etika Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan hubungan antara manusia baik sebagai makhluk individu maupun sebagai kelompok dengan lingkungan alam yang lebih luas.

Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Hukum yang keberadaannya merupakan produk dari “keputusan politik” dari politik hukum sebuah rezim yang sedang berkuasa, sehingga tidak bisa dihindarkan dalam proses penegakan hukum secara implisit ‘campur tangan rezim yang berkuasa’ pasti ada. Apalagi system Pemerintahan Indonesia dalam konteks “Trias Politica” penerapannya tidaklah murni, dimana antara Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif keberadaannya tidak berdiri sendiri. Indonesia menjalankan konsep trias politica dalam bentuk ‘sparation of powers’ (pemisahan kekuasaan) bukan ‘division of power’ (pembagian kekuasaan). Dimana tanpak di dalam proses pembuatan undang-undang peran pemerintah begitu dominan menentukan diberlakukannya hukum dan undang-undang di negeri ini.

Kenyataan ini sebenarnya dapat menimbulkan ketidak puasan rakyat dalam proses penegakan hukum di Indonesia apa lagi di sisi lain para politikus di negeri ini kurang memahami dan menghormati “etika politik” saat mereka menjalankan proses demokrasi yang selalu cenderung melanggar hukum dan aturan main yang mereka sepakati sendiri, sehingga tidak berlebihan banyak yang mempertanyakan moral politik dari para politikus bangsa ini. Ekses dari ketidakpuasan rakyat di dalam praktik demokrasi dan penegakan hukum yang terjadi selama ini telah memunculkan fenomena distrust dan disintegrasibangsa yang pada gilirannya mengancam keutuhan NKRI. Tidaklah heran sejak tahun 2001, MPR-RI mengeluarkan Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Dimana lahirnya TAP ini, dipengaruhi oleh lemahnya pemahaman terhadap etika berbangsa, bernegara, dan beragama. Munculnya kekahwatiran para wakil rakyat di MPR tersebut terungkap sejak terjadinya krisis multidimensi yang memunculkan ancaman yang serius terhadap persatuan bangsa, dan terjadinya kemunduran pelaksanaan etika kehidupan berbangsa. Hal itu tampak dari konflik sosial yang berkepanjangan, berkurangnya sopan santun dan budi luhur dalam pergaulan sosial, melemahnya kejujuran dan sikap amanah dalam kehidupan berbangsa, pengabaian terhadap ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negeri ini.

Jadi etika politik pada gilirannya punya kontribusi yang kuat bagi baik-tidaknya proses penegakan hukum di negeri ini, apalagi moral para Penegak Hukum yang sudah terlanjur bobrok, maka tidak dapat dipungkiri lengkaplah sudah runyamnya penegakan hukum di negeri tercinta Indonesia.

Maka sebelum terlanjur parah dan tidak tertolong lagi, mau tidak mau kita semua harus segera membangun moral bangsa ini, beri rakyat contoh dan suri teladan yang baik dari para Penguasa, para Politikus, para Tokoh masyarakat dan Agama, bangun system pendidikan dengan mengedepankan pendidikan akhlak dan kepribadian jadi hal yang juga turut menentukan lulus tidaknya para Siswa dan Mahasiswa, tanpa budaya etika dan moral yang dimiliki generasi penerus pada gilirannya Indonesia pasti akan hancur sebagai negara yang berdaulat dan bermartabat, bahkan rakyat akan merasakan nasibnya akan jauh lebih buruk daripada saat-saat rakyat Indonesia dijajah oleh Belanda dahulu.