Jumat, 06 Juni 2014

Kontroversi Terdakwa Jadi Capres


Rapat paripurna DPR RI di Gedung DPR pada hari Senin, 7 Juli 2014 akhirnya mengesahkan RUU Pemilihan Presiden menjadi Undang-Undang Pemilihan Presiden. Bangyak yang menilai UU tersebut lahir karena hasil bargaining politik antara beberapa kepentingan elite Partai besar yang masing-masing mempunyai cacat dalam syarat-syarat yang diajukan dalam RUU Pemilihan Presiden sebelumnya.

Mensikapi lolosnya RUU tersebut menjadi UU telah ternyata dijadikan momentum pula oleh beberapa para elite politik dengan mendramatisir lolosnya RUU dengan sikap yang bisa dikatakan setengah mengkampanyekan wawasan pribadinya sembari mengatakan ; “masalahnya kembalikan saja ke rakyat, karena rakyat sudah cukup cerdas dalam memilih Presiden secara langsung, sebagai contoh dalam Pilkades-Pilkades yang dilakukan selama ini”. Mungkin komentar tersebut ada benarnya. Rakyat sudah punya pengalaman di dalam Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) di Desanya. Dan rakyat sudah punya pengalaman dalam melihat tingkah polah calon Kepala Desa saat sebelum dilakukannya Pilkades, antara lain :

1). Rakyat didatangi seseorang (jurkam) dari salah satu kontestan yang memintanya agar mencoblos gambar anu dengan memberi imbalan uang dan rasa terima kasih ; 2). Kemudian rakyat didatangi lagi oleh seseorang lainnya dari kontestan lainnya, juga meminta agar ia mau mecoblos gambar anu dengan memberi imbalan uang yang lebih besar lagi ; 3). Rakyat sudah cukup pengalaman dalam bersikap pragmatis ditengah beban sulit yang mereka hadapi, mana yang harus didahulukan antara bagaimana mempertahankan hidup atau menegakkan nilai-nilai peradaban.;

Bahkan kalau dilihat perkembangannya pengalaman dari Pilkades selama ini rakyat mungkin tidak ambil pusing tentang siapa yang akan memimpin negara ini, karena yang penting bagi rakyat calon pemimpin tersebut bisa memakmurkan. Berbicara mengenai Terdakwa itu adalah nomenklatur hukum yang harus dinilai secara tersendiri dari kaca-mata hukum. Rakyat belum merasa mendesak untuk menilai serta mengambil kesimpulan atau menentukan sikap terhadapnya. Sepanjang sejarah yang ada konon rakyat masih juga memberikan rasa hormat kepada si Pitung Jago Betawi yang juga disebut sebagai “Maling Budiman”, atau sebagai Rhobin Hoot nya Indonesia, dimana tindakannya dapat dibenarkan oleh rakyat yaitu merampok harta Kompeni atau Saudagar-saudagar kaya yang curang dan berkhianat, karena hasil rampokannya selalu dibagi-bagikan kepada rakyat miskin yang menderita. Berbicara mengenai “terdakwa” sebenarnya kita semua punya potensi menjadi “Terdakwa” karena kometmen moral kita sudah sangat diragukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mungkin saja banyak diantara kita menyimpan kesalahan yang dapat dikategorikan suatu perbuatan melanggar hukum bahkan melakukan pidana, cuma mungkin belum ketahuan dan dipersoalkan orang, kita masih selamat. Kata-kata tentang Terdakwa” sebaiknya jangan dijadikan alat untuk melakukan pembunuhan karakter (Caracter Assasination) atau kata terdakwa jangan pula disosialisasikan menjadi alergi sosial yang harus disikapi dengan sinisme. Bukankah di Afrika Selatan Nelson Mandela yang mantan narapidana bisa jadi Presiden Afrika Selatan walaupun saat ini sudah mantan Presiden, Mandela tetap dimuliakan oleh sebagian besar Rakyat Afrika Selatan. Di negara kita kalau kita sportif menjunjung tinggi supremasi hukum kedudukan Terdakwa yang disandang seseorang belum dapat dikatakan ia telah bersalah sehingga tanpa disadari kita telah mengambil sikap menghukum terhadap diri terdakwa.

Asas Presumtion of innocence ( Praduga tak bersalah) sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 8 UU No.14/1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu : “setiap orang yang disangka,ditangkap,ditahan,dituntut dan/atau dihadapkan di depan pengadilan, wajiab dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap”. Dan ditegaskan pula di dalam pasal 18 ayat (1) UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Mamusia (HAM) yaitu : “setiap orang yang ditangkap,ditahan,dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Atas dasar ketentuan ini rakyat harus diajari untuk bersikap dewasa tidak memvonis seorang “terdakwa” apalagi disuruh menentukan sikap yang bersifat menghukum terhadap “terdakwa” dengan mematikan hak-hak terdakwa yang masih ada.

Para politikus/elite politik seharusnya mengerti hukum, menimal mengerti tentang hak-hak terdakwa dan tidak menjadikan seorang “terdakwa” menjadi komoditas politiknya, jangan mencari populeritas di atas kehancuran orang lain (lawan politiknya). Berangkat dari asas hukum tentang Praduga Tidak Bersalah, serta berdasarkan pasal 8 UU No.14/1970 dan pasal 18 ayat (1) UU No.39/1999, maka dapat dibenarkan secara hukum seorang “terdakwa” menjadi Calon Presiden, Calon apa saja di dalam struktur pemerintahan atau calon ketua di Lembaga-Lembaga Tinggi Negara lainnya di Republik ini. Kalau negara ini konsisten menjunjung tinggi supremasi hukum, maka harus ditegakkan hak-hak hukum seseorang secara utuh dan menyeluruh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar